Geliat persiapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) serentak gelombang pertama yang akan digelar pada akhir tahun 2015 ini sudah mulai terasana dan bahkan di beberapa daerah cenderung memanas.
Setelah pada tanggal 8 Juli 2015 kemarin beberapa aktifis pro demokrasi dikejutkan dengan keputusan Makamah Konstitusi perihal putusan perkara nomor 33/PUU-XIII/2015 yang pada akhirnya melegalkan pencalonan keluarga petahana/ incumbent/ seseorang yang menjabat kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah.
Tentu saja keputusan MK ini membuka kembali peluang lahirnya politik dinasti yang serupa dengan sistem kerajaan dimana kekuasaan di-estafet-kan secara turun termurun diantara anggota keluarga kerajaan yang pada masa tersebut dikenal dengan sebutan bangsawan.
Setelah pada tanggal 8 Juli 2015 kemarin beberapa aktifis pro demokrasi dikejutkan dengan keputusan Makamah Konstitusi perihal putusan perkara nomor 33/PUU-XIII/2015 yang pada akhirnya melegalkan pencalonan keluarga petahana/ incumbent/ seseorang yang menjabat kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah.
Tentu saja keputusan MK ini membuka kembali peluang lahirnya politik dinasti yang serupa dengan sistem kerajaan dimana kekuasaan di-estafet-kan secara turun termurun diantara anggota keluarga kerajaan yang pada masa tersebut dikenal dengan sebutan bangsawan.
Salah satu keriuhan yang terjadi di beberapa daerah adalah fenomena ‘borong partai’, yakni sebuah gejala sepasang calon kepala daerah yang berusaha mengoleksi dukungan dari sebanyak mungkin partai politik guna kelancaran pemenuhan syarat formalitas pada proses pencalonannya sebagai kepala daerah. Padahal syarat minimal pasangan calon bisa mendaftar melalui jalur partai politik adalah 20% dari jumlah kursi pada tiap tiap DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah pada pemilu tahun 2014 lalu.
Namun untuk meningkatkan kepercayaan diri dan memperbesar peluang untuk memenangkan kontestasi pilkada ini maka di beberapa daerah tidak cukup bila hanya mengoleksi 20% saja, melainkan harus sebanyak banyaknya dan bahkan kalau perlu 100% partai politik yang mendudukan kadernya menjadi anggota DPRD bisa dirangkul untuk menjadi partai pengusul sekaligus pendukung pada pilkada kali ini.
Metode ‘hanguskan perahu’ ini merupakan bagian dari taktik agar lawan kehabisan perahu politik sehingga tidak bisa mencalonkan diri sebagai peserta pilkada. Meskipun terselip juga gambaran kerakusan dan arogansi sekaligus kekhawatiran jika ada lawan yang memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi di tengah tengah masyarakat namun tidak memiliki dana untuk biaya sewa perahu.
Disebut kerakusan dan arogansi karena salah satu motif memborong parpol adalah guna mempertunjukkan kemampuan ekonomi sekaligus kekuasaan bahwa dirinya mampu menyewa perahu politik yang banyak, dan tentunya dengan biaya yang relative besar jika kita mengakui peribahasa “Tidak ada makan siang gratis”. Terutama dalam sebuah tindakan dan keputusan politik. Dan di sebut ‘menyewa perahu’ karena terkadang sang calon bukan merupakan kader ataupun simpatisan dari partai yang mengusulkan dan mendukung pencalonan, jadi sekedar ‘upah angkut’ yang tentunya harus diberikan kepada pihak partai politik. Meskipun tentunya sinyalemen ini akan dibantah habis habisan dan di-ingkari mati matian oleh setiap partai politik bahwa partainya menetapkan ongkos/mahar/biaya/infaq atau pun istilah lainnya sebagai biaya pengusungan sang calon.
Lalu apa keuntungan bagi partai politik yang mendukung pencalonan personal non-kader tersebut? Pertanyaan naïf ini tentunya muncul dibenak para pemirsa tontonan politik di tanah air. Jawabnya sederhana, yakni keuntungan politik baik yang berbentuk maupun yang tidak berbentuk dari sang calon manakala yang bersangkutan terpilih sebagai kepala daerah.
Bukan merupakan rahasia jika ada sederetan perlakuan khusus yang bisa dijanjikan dan diberikan kepada personal bahkan institusi partai politik pengusung dan pendukung. Sebut saja beberapa akses informasi untuk mengetahui proyek proyek APBD yang bisa diakses lebih dini ketimbang masyarakat umum dan awam sehingga bisa mempermudah proses eksekusi guna memenangkan proses tender-nya. Atau informasi kebutuhan Pegewai Negeri Sipil di lingkungan daerah tersebut, atau kemudahan berbagai bantuan social dan atau hibah, hingga sekedar rekomendasi untuk anak dan keluarga para politisi yang ingin diterima di sekolah negeri favorit yang berada dibawah tanggung jawab sang kepala daerah.
Jika melihat beberapa kemudahan yang bisa diperoleh jika berada pada lingkaran kekuasaan, maka penulis jadi teringat sistem tuan tanah atau gaya hidup feodal atau sistem kerajaan pada era ratusan tahun lalu. Dimana para bangsawan bisa dengan mudah meng-akses sumberdaya ekonomi yang sepenuhnya menjadi kewenangan sang Raja. Bila pada sistem feodal ada sebuah cirri yang menjadi penanda khas sistem tersebut yakni : seorang bangsawan tinggi mendapat lahan langsung dari raja, maka pada era modern saat ini seorang politisi dari partai pendukung mendapat akses terhadap sumberdaya ekonomi langsung dari sang kepala daerah.
Hanya saja perbedaan yang mendasar sistem abad lalu dengan hari ini adalah cara perolehan kekuasaannya. Jika pada era kerajaan, kekuasaan tersebut diwariskan secara turun temurun, maka pada hari ini harus diperebutkan melalui proses pemungutan suara dari masyarakatnya.
Sekalipun demikian, bila mengacu kepada feodalisme di Indonesia, yang menurut Soeyatno penulis artikel ““Feodalisme dan Revolusi di Surakarta 1945-1950”, struktur kelas masyarakat dibedakan menjadi Santono Dalem (penguasa), Abdi Dalem (pekerja istana), dan Kawulo Dalem (masyarakat) maka dapat disama-kan dengan Kepala Daerah (penguasa), Aparat Birokrasi ( pekerja), dan Publik (masyarakat). Hanya saja yang membedakan pada saat ini adalah hierarki-nya dimana masyarakat bukan merupakan bagian terbawah yang bisa ditindas sewenang wenang, namun justru masyarakat merupakan pemilik terbesar suara yang seharusnya menentukan kekuasaan tersebut. Sehingga posisi seharusnya, sang kepala daerah dan jajarannya menjadi pelayan bagi kepentingan masyarakat luas.
Kembali kepada judul tulisan ini yaitu ‘borong partai dan feodalisme’ maka semakin menemukan hubungan yang erat antara keduanya. Pertama dimulai dengan adanya kesempatan untuk menjadi ‘raja’ atau kepala daerah maka dibutuhkan kendaraan politik untuk mengantarnya. Sehingga dibutuhkan biaya untuk menyewa atau kalau bisa membeli kendaraan politik tersebut. Dan hanya orang yang memiliki dana yang bisa menyewa kendaraan politik tersebut, dalam hitunganmatematis dan logika sederhana semakin banyak kendaraan yang disewa makan akan membutuhkan biaya yang lebih besar. Dan golongan yang memiliki dana atau akses menuju dana tersebut disebut sebagai keluarga bangsawan pada sistem feodal.
Kedua, ketika yang bersangkutan terpilih menjadi kepala daerah, maka tidak serta merta partai politik yang mengusungnya balik badan dan ‘say goodbye’ tanpa berharap ada aliran kesejahteraan lanjutan, terutama bagi actor strategis dari parpol tersebut yang berjasa menjadi ‘mak comblang’ antara parpol dan sang calon. Dengan kata lain semakin banyak ‘mak comblang’ maka semakin besar biaya yang dibutuhkan untuk memelihara kelanjutan kehidupannya. Maka lahirlah kaum bangsawan baru yakni para ‘mak comblang’ yang akan mengitari sang ‘raja’, dan biasanya para ‘mak combalng’ ini memiliki akses khusus untuk berhubungan dengan seluruh intitusi dari bawah ‘kerajaan’. Sebagai contoh, para comblang ini dengan mudah meminta para kepala dinas untuk memberikan informasi proyek kegiatan yang berada di bawah tanggung jawabnya. Bahkan untuk sekedar memasukan anak dan saudaranya ke sekolah negeri favorit.
Ketiga, para bangsawan baru ini akan berusaha merebut beberapa jabatan public baik dalam organisasi masyarakat, organisasi kepemudaan, organisasi keagamaan, organisasi politik, dan berbagai bentuk lembaga atau institusi lainnya. Dan bangsawan yang memiliki sumber daya ekonomi besar akan mengincar jabatan kekuasaan yang dipilih rakyat seperti kepala desa dan pilkada pada periode berikutnya.
Ke-empat, dan akan selalu berulang rezim kekuasaan yang dipergilirkan diantara kaum yang memiliki modal tersebut. Semakin besar modal yang dimiliki maka hasrat untuk membeli partai sebanyak mungkin akan selalu timbul seiring dengan maksud untuk mengamankan kekuasaan yang sedang dikejarnya.
Namun demikian, sebagaimana kisah raja raja jaman dahulu kala, selalu terjadi intrik sebagaimana kisah ken dedes-ken arok- dan tunggul ametung. Atau kisah lain yang menyimpan unsure penghianatan dalm bingkai strategi meraih kekuasaan.
Sesuai dengan peraturan KPU No.12/2015 pasal 89 yang menyatakan bahwa bila hanya ada satu calon maka batas pendaftaran ditambah waktunya selama 3 hari, dan bila setelah penambahan waktu tersebut tidak ada calon lain maka seluruh tahapan dan pemilihan akan dilakukan pada pemilihan serentak tahun berikutnya. Maksudnya bila hanya ada satu calon maka pilkada dilaksanakan pada tahun 2017.
JIka membaca pasal ini, maka bagi parpol yang tidak memiliki kader dengan kualitas setara atau mendekati petahana atau calon yang memiliki sumberdaya ekonomi yang besar, pasal ini bisa dimainkan sebagai bagian dari strategi atau taktik untuk ‘membeli waktu’ atau mengulur waktu guna mempersiapkan kadernya lebih matang dan memiliki sumberdaya ekonomi yang mumpuni untuk bersaing di pilkada. Sehingga dengan tujuan tersebut, maka lebih baik berkumpul pada seorang calon dengan maksud melahirkan calon tunggal agar pilkada diundur pada tahun 2017.
Memang taktik ini dengan mudah dipatahkan melalui calon boneka di jalur independen. Namun dengan syarat jumlah dukungan 6,5% hingga 10% dari jumlah penduduk di suatu daerah, dan sistem verifikasi yang rumit maka dengan mudah sang sutradara (yg ingin mengundur pilkada) menyisipkan orang untuk mendukung dengan menyerahkan KTP lalu kemudian mengatakan bahwa itu dukungan palsu guna menyulitkan syarat pencalonan jalur perseorangan tersebut. Dan hal ini bisa dilakukan bila para anggota KPU tidak ada yang terbeli oleh sang Calon dari petahana atau calon yang memiliki akses terhadap KPU.
Jadi, serupa meski tak sama, maka sistem apapun selama tujuannya adalah guna merebut kekuasaan semata semata, maka masyarakat selalu yang menjadi korban. Persoalan feodal yang memang menjadi akar budaya di nusantara maupun sistem demokrasi sebagai sistem yang di-import hanyalah sebuah sebutan nama. Yang lebih penting adalah actor atau pelaku dari sistem itu sendiri, apakah memiliki tujuan mulia sebagai sarana menuju kesejahteraan raKyat atau hanya untuk kepentingan rayat belaka. (rayat = bahasa jawa banten yang berarti keluarga atau kerabat atau orang dekat)
Oleh : Boyke Pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar